Pergeseran pemaknaan pergeseran nilai ruang publik
Abstrak
Ruang publik yang semula bermakna luas memaknai kekebasan orang dalam
berekspresi, kini telah tergeser pemaknaannya. Alun-alun, Piazza atau Plaza
telah diambil alih oleh para kapitalis untuk sebuah nilai ekonomis. Ruang
publik yang beralih menjadi tempat ekonomis, merubah kebudayaan masyarakatnya
yang telihat dari gaya hidupnya. Gaya hidup konsumerisme juga dipengaruhi oleh
ruang publik yang dinamakan Mal atau Plaza. Berbagai tampilan glamour,
prestise, kemewahan seakan menjadi daya sihir tersendiri dalam mempengaruhi
gaya hidup konsumtif masyarakat. Simbol-simbol sosial sering dimaknai oleh
kepemilikan benda-benda.
Kata Kunci : Ruang publik, Gaya Hidup, Mal, Konsumerisme.
Critical Review
Bacaan pertama mengenai makna nilai sebuah ruang budaya dan kultural di
alun-alun kota Surakarta, dikatakan bahwa ruang publik yang semula bermakna
luas sebagai wahana hidup bersama untuk berekspresi kreatif merdeka sekarang
telah berubah pemaknaannya. Pergeseran itu dimulai sejak masuknya kepentingan
ekonomis yang mengakibatkan kapitalisme menjadi penentu hidup manusia.
Sampai-sampai sang pemilik awal hanya menjadi penonton pasif ketika
penonton-penonton dijadikan objek konsumsi oleh sang pemilik modal.
Kata plaza berasal
dari istilah Spanyol, memiliki arti yang mirip dengan city/town square dalam
Bahasa Inggris, atau piazza dalam
Bahasa Italia. Arti plaza kemudian mulai bergeser, mungkin berubah makna akibat
statistik, bahkan ketika sama sekali tidak ada ruang publik terbuka tetap
diberi nama plaza. Sungguh menyedihkan saat mendengar orang yang hanya tahu
bahwa plaza adalah bangunan besar berisi pusat perbelanjaan. Juga rasanya ingin
marah melihat Pemkot mengijinkan semakin banyaknya bangunan tanpa ruang terbuka
yang layak diberi nama plaza.
Dalam bacaan juga dibahas mengenai perkembangan dan perubahan life style dalam masyarakat modern. Life style dapat terlihat dari cara berpakaian,
selera makan dan lain sebagainya, semuanya ditampilkan secara fisik dengan mode
gaya atau trend tertentu. Setiap orang ingin menunjukkan aktualisasi dirinya,
melalui kepemilikan benda-benda yang memiliki nilai ekonomis mengakibatkan
masyarakat menjadi cenderung konsumtif. Istilah konsumtif berasal dari kata
konsumsi yang berarti penggunaan barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan
sehari- hari yang bisa berhubungan dengan masalah selera, identitas, dan gaya
hidup (Webber, 1992). Jadi konsumsi berkaitan dengan jumlah pengeluaran untuk
membeli berbagai jenis barang dan jasa dalam tingkat pendapatan dan jasa dalam
tingkat pendapatan dan jangka waktu tertentu.
Modernisasi berdampak besar pada kehidupan masyarakat Indonesia zaman
sekarang. Proses masuknya berbagai budaya dari berbagai belahan dunia yang
tidak disertai dengan filterring yang cukup membuat masyarakat kita yang semula
hidup dengan kesederhanaan menjadi hidup bermewah-mewahan ala Barat. Ini tentu
berdampak besar pada terkontaminasinya budaya asli dengan budaya baru akibat
adanya modernisasi. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan
yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan perubahan dalam
bentuk serta aturan organisasi sosial.
Dahulu masyarakat tidak terlalu mementingkan urusan penampilan dan gaya
hidup. Mereka lebih mementingkan masalah kebutuhan pokok daripada masalah
penampilan, tetapi sekarang berbeda keadaannya, karena kini urusan penampilan
dan gaya hidup mulai menjadi perhatian serius.
Gaya hidup adalah suatu pola atau cara individu mengekspresikan atau
mengaktualisasikan, cita-cita, kebiasaan/hobby, opini, dsb dengan lingkungannya
melalui cara yang unik, yang menyimbolkan status dan peranan individu bagi
linkungannya. Gaya hidup dapat dijadikan jendela dari kepribadian masing-masing
invidu. Gaya hidup menunjuk kepada pola hidup manusia yang diekspresikan dalam
aktifitas (activities), minat (interests), pendapat (opinions) (kotler, 2002).
Gaya hidup merupakan refleksi mengenai tingkah laku mengkonsumsi (consumtion
behavior).
Perilaku konsumtif terjadi karena telah banyaknya tempat-tempat hiburan,
mal dan tempat perbelanjaan, café, dan lain-lain sehingga pola konsumsi telah
berubah yang mulanya hanya untuk memenuhi kebutuhan menjadi sarana pembentukan
identitas diri dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan teori
psikodinamika dari Simund Freud yang mengatakan bahwa alam bawah sadar manusia
tanpa sadar menjadi motor penggerak perilaku manusia. Disana bersemayam
“hasrat” yang dalam terminologi Freud ditunjuk sebagai “libido”. Seluruh
visualiasi yang terekam dalam alam bawah sadar, kemudian bangkit dalam berbagai
bentuk keingnan yang mendorong ego untuk memenuhinya. Seperti yang ditampilkan
oleh berbagai kemewahan dalam ruang publik yang dinamakan “mal”.
Dengan menjamurnya berbagai mal, Maka diperoleh juga prestise, status,
kelas, dan symbol sosial tertentu. Bukan hanya di kota-kota besar saja, bahkan
mal sudah masuk hingga ke daerah-daerah di pinggir kota. Keberadaan ruang
publik seperti mal ini menggeser pemaknaan dan fungsi ruang publik itu sendiri.
Kekuasaan kapitalis telah membeli kekuasaan yang berakibat pada masyarakat
luas.
Begitulah mal, plaza atau pusat perbelanjaan saat ini memang tidak sama
lagi konsepnya. Kendati dengan gedung yang sama megahnya dengan lokasi serupa
strategisnya, tapi menjalankan konsep “one stop shopping” alias bisa belanja apa saja hanya di satu
tempat, yang sudah terlanjur melekat pada pengertian mal.
“I am, what I have and what I consume” (Erich Fromn)
Mal telah mencerminkan sebuah citra konsumerisme yang
megah di Indonesia saat ini. Seperti ungkapan Erich Fromn di atas berarti bahwa, manusia
dibentuk menjadi manusia konsumtif. Manusia merasa dirinya sebagai manusia
ketika ia bisa memenuhi segala kebutuhannya. Ungkapan lain yang senada dengan
hal ini adalah “Saya berbelanja, maka saya ada”. Eksistensi manusia hanya diukur saat dia bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Satu hal yang ditimbulkan dari munculnya mal ini adalah sebuah kloning
budaya, yang melahirkan konsumerisme itu sendiri. Di dalam mal tersedia
berbagai jenis makanan, pakaian, hiburan, serta segala jenis gaya hidup glamour lainnya.
Tanpa kita sadari semua itu adalah hasil dari kloning kebudayaan. Sebuah
bentuk kebudayaan telah direproduksi secara global dari gen yang sama,
yaitu kebudayaan pragmatisme Amerika.
Di Indonesia sendiri, Mal nampaknya sudah menjadi sebuah keharusan bagi
kota-kota di berbagai propinsi, terutama di Pulau Jawa. Mal telah menjadi
sebuah identitas dari sebuah kota. Sebagaian kota besar di Indonesia
“menghiasi” dirinya dengan bangunan-bangunan super megah yang menawarkan
berbagai kebutuhan manusia.
Para pengusaha yang sekaligus
menjadi pengelola menjadikan mal sebagai surga. Bisa dikatakan, Mal ini telah memiliki fungsi
yang melebihi fungsi tempat ibadah. Ruang publik masyarakat beralih ke
dalam mal. Semua orang dapat bertemu dengan nyaman di mal untuk berbagai
aktivitas, baik yang sederhana
maupun yang serius. Mal telah menggantikan sarana bermain
anak-anak seperti lapangan dan taman. Nilai-nilai sakral budaya telah dikalahkan oleh
konsumerisme dan materialisme. Banyak mal berupaya menjadikan dirinya
sebagai arena kesenangan dan kegembiraan. Mal telah menjadi pusat kegiatan
manusia modern. Namun sayang, mal-mal di negeri ini dibangun tanpa ada sebuah
rekayasa sosial. Mal malahan menjadi ancaman bagi pasar-pasar tradisional.
Masyarakat cenderung ingin berbelanja di tempat yang nyaman, meskipun dengan harga yang agak
miring. Pembangunan mal itu sendiri seringkali dilaksanakan secara tak aturan, tanpa memperhatikan aspek etika,
estetika, dan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
Namun, bila kita berpikir secara kritis, yang sebenarnya kita lihat dari
fenomena tersebut adalah hanya sebuah pragmatisme budaya yang di dalamnya tak
ada nilai-nilai luhur yang dapat diwariskan. Perlunya upaya-upaya untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat akan ruang publik. Pemerintah kota
sebagai pemilik kekuasaan seharusnya dapat mengambil sikap tegas dalam
memberikan izin kepada kapitalis.
Daftar bacaan :
Artikel : Kota Dan Budaya Ruang Publik, Titik
Temunya oleh Mudji Sutrisno Budayawan dan Guru
Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia.
Hardwick, M. Jeffrey, 2004, Mal Maker, Philadelphia: University
of Pennsylnavia Press
Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada,
Yogyakarta: Jalasutra
Komentar
Posting Komentar