15 hari di Daerah Matahari Terbit, Alor-NTT

Bukan sekali pertama ini saya menginjakkan kaki di wilayah timurnya Indonesia, atmosfir berbeda yang dirasakan ketika kita berada di sana panas.... Ya itupun yang saya rasakan, berinteraksi dengan orang baru dengan warna kulit berbeda membuat saya semakin berhati-hati, namun satu hal yang selalu saya percaya.. "ketika kita berlaku baik, maka orang juga akan berlaku baik pada kita". Selama kaki masih berpijak pada bumi yang sama, hanya Tuhan lah yang harusnya kita takuti...

Perjalanan selama 15 hari di Alor-NTT, memberi pelajaran tersendiri lagi untuk saya, pesona alam yang tak kalah menarik dengan bagian lain Indonesia sangat saya nikmati. Mulai dari lautnya, bukit, pulau-pulau, kuliner, bahasa, masyarakat adat hingga orang-orangnya.

Selama bekerja mencari informasi untuk penelitian program-program kemiskinan di Alor, saya dan teman saya bertemu dengan banyak orang dan kami pun disambut baik oleh Bupati setempat. Seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan ini di wilayah Alor rasanya cukup kooperatif. Kami pun menyempatkan diri untuk mengeksplor keindahan Alor, kami menginap di sebuah hotel sederhana di kota Kalabahi yang bernama "Hotel Kenari", harganya cukup terjangkau per malam untuk satu orangnya Rp. 100.000,- dengan fasilitas TV, AC, kamar mandi dalam, tempat tidur besar, dan 2x snack pagi dan sore.


oya kita juga bisa mengunjungi museum Moko yang ada di Kota Kalabahi, ini foto dalam museum.







Takpala, desa adat dengan segala keindahan dan keunikan masyarakat adatnya yang dekat dengan alam.. Tempat yang satu ini wajib dikunjungi ketika berkunjung ke Alor, disana kita dapat melihat sebuah tarian persaudaraan yang bernama tari Lego-Lego.. Sayangnya untuk bisa menyaksikan tarian yang satu ini kita harus membuat janji lebih dahulu dengan ketua adat sehingga bisa dipersiapkan, dan dana yang harus disediakan adalah sekitar 1,5 juta/sekali pementasan. Sehari-hari di kampung adat sendiri hanya tinggal 13 KK, tanpa listrik. Dan penduduk lainnya berada di kaki bukit. Kalau hari biasa tanpa pagelaran tari, kampung tersebut sepi, kita hanya bisa melihat rumah-rumahnya saja. Hari itu kami beruntung karena bisa ikut menikmati tarian beserta dengan aktifitas adat masyarakatnya, karena kami datang bertepatan dengan kunjungan museum nasional dari Jakarta. Sebenarnya ada satu lagi kampung adat di sana, namanya desa Bampalola dimana masyarakatnya menggunakan kulit kayu untuk pakaiannya, dan masih kental aroma mistisnya.. Namun saya tidak sempat kesana.



Tari Lego-lego, upacara pembeliann Moko






Pulau Ternate...
Kami juga berhasil menyeberang ke sebuah pulau kecil dekat Alor Kecil yang berrnama Pulau Ternate, disana merupakan daerah penghasil kain tenun khas Alor yang terbanyak.. Dan wahh benar, sesampainya kami disana jejeran kain tenun dapat langsung kami temui. Untuk sampai kesana, dapat ditempuh dengan naik ojek dari Kalabahi sampai di dermaga dengan biaya sekitar 50 ribu rupiah. Lalu dilanjutkan naik perahu motor per orang sekitar 20 ribu rupiah. Di pulau Ternate tersebut ada sebuah mata air, yang rasanya tawar tapi setelah saya coba rasa airnya seperti bersoda persis air kelapa. Hahahaa... Dan banyak sekali anak-anak disana, wah itu terlihat bahwa angka KB sangat rendah. Namun mayoritas masyarakatnya beragama islam. Waktu itu kebetulan kami nebeng rombongan Museum Nasional, jadi tidak mengeluarkan uang sedikitpun... Malah kami juga sempat makan siang disana.. Walaupun cukup prihatin, kami makan nasi yang berwarna agak abu-abu, dan sayur dauk kelor... Huhuhu horor banget... Tapi semuanya berhasil saya telan dan alhamdulillah perutpun dapat berkompromi dengan baik.. :p

Pemandangan saat menyantap hidangan Nasi + sayur daun kelor

Kain tenun khas pulau Ternate

Mata air tawar di Pulau Ternate



Pulau Kepa....
Dua hari terakhir kami di Alor, kami juga berniat untuk mengunjungi sebuah pulau yang bernama Pulau Kepa, konon katanya di pulau itu terdapat penginapan atau cotage milik orang Prancis dan orang pribumi tidak bisa mengakses tempat tersebut... Nah, karena jiwa petualang kita yang sangat penasaran membuat kita ingin membuktikannya, hahaha gayaa... Baiklah, akhirnya kami pun chek out dari hotel dan menitipkan barang bawaan di rumah seorang kawan. Kami pun menempuh perjalanan dari Kalabahi ke dermaga menggunakan motor, yaa tumpangan gratis lumayan... Kalau teman-teman ada yang mau kesana, jaraknya sama dengan kalau kita mau ke pulau Ternate bahkan lebih dekat hanya 30 menit naik ojek sekitar 50 ribu lah.. Menyeberang menggunakan perahu motor yang tarifnya Rp. 2000,- per orang tapi karena baiknya kita kita salah dengar dan bayar Rp. 20.000 untuk berdua, tapi sudahlah itung-itung amal. Lalu tibalah kami di pulau Kepa, seperti terdampar... Pulau tak berpenghuni, tapi kami bertemu dengan anak-anak pulau yang sedang memetik buah di pohon apa lah namanya... Kami pun diantar ke penginapan, di gerbang ada tulisan "selain tamu dilarang masuk".. Dan anak-anak itupun melepas kami sampai di pintu gerbang saja.. Kasihan..
Akhirnya kami pun masuk, dan disambut oleh seorang wanita bertubuh kecil bernama Anne, dia kewarganegaraan Prancis, dia sudah 16 tahun tinggal disana namun masih berstatus WNA. Saya sangat senang ketika pertama kali menginjakkan kaki disana, seperti berada di Alor yang sesungguhnya dengan sajian bentuk penginapan rumah "Lopo" rumah adat Alor. Dan saya temukan di sini yang justru dikelola oleh orang Prancis. Kami memilih untuk menginap di rumah Lopo dengan tarif per orang Rp. 175.000,- per malamnya, dan sekali lagi tanpa listrik.. Karena mereka menggunakan listrik tenaga surya sehingga penggunaannya terbatas. Malam hari kami makan malam dengan seluruh penghuni cotage yang berbahasa Prancis, serasa seperti di Prancis.. Hahaha... Keesokan harinya pun kami harus pulang, namun isu kalau orang pribumi tidak boleh menginap disana terbantahkan.. Kami berkesimpulan bahwa bukannya tidak bisa mengakses, tapi mungkin malu karena memang kebanyakan dihuni oleh orang bule.. :P

Selama di Alor jangan harap menemukan rumah makan yang menjual makanan khas Alor, bahkan penduduk asli pun tidak ada satupun yang membuka warung makan... Alasannya satu hari buka, besok langsung tutup karena dihutangi oleh sanak saudaranya... Tapi jangan khawatir, banyak pedagang dari jawa dan padang jadi terjamin ke halalannya..
Pernah saya dan teman saya, harus mewawancarai seorang pengurus Gapoktan di sebuah desa... Rumahnya sangat sederhana, manun kedatangan kami disambut baik oleh anjing-anjing yang menyeramkan, rumah yang sangat tidak enak baunya, kamar mandi yang sangat tidak layakpun terpaksa harus saya rasakan.. Karena tempatnya persis di sebelah kandang babi.. Hiks hiks...

Akhirnya, perjalanan kami di Alor pun berakhir... Selanjutnya kami ke Kupang NTT. Kami berniat mengunjungi rekan teman saya di Boti, suku adat yang sangat terpencil namun sudah sering tampil di TV. Kami berangkat dari Kupang menuju Soe menggunakan travel bermerek avanza, per orang dikenakan tarif sebesar Rp. 40.000,- dan sangat murah untuk jarak tempuh yang sangat horor untuk saya sekitar 4 jam... Huftt...

Suku Boti..
Setibanya di Soe kami dijemput oleh seorang teman, dan saya pun melanjutkan perjalanan dari Soe menuju Boti.. Hanya ada ojek, dan biayanya sekitar Rp. 100.000,-/ orang karena jaraknya yang sangat jauh dengan lintasan seperti track off road.. Wahhh jalannya tebing, bukit berbatu, dan jurang.. Sekali tergelincir, nyawa taruhannya... dengan kondisi seperti ini kalau hujan tidak ada yang berani melintas, syukurnya hari itu cerah dan saya pun bisa melintasinya... Kami menempuh jarak sekitar 5 jam, wah kebayang kan rasanya seperti apa... Pengen teriakkkkk.... Sepanjang jalan tanpa penerangan, karena hari sudah malam...
Kami pun sampai di rumah teman yang di Boti sekitar pukul 8 malam, terasa gelap, sepi dan dingin... Tidak ada listrik disana, hanya ada lampu kunang-kunang. Kami pun disambut dengan baik oleh keluarga baru kami.. Pada malam hari saya pun disajikan makanan terbaik bagi mereka, nasi jagung. Masyarakat disini makan makanan pokok berupa jagung, lalu nasi sebagai tambahan karena harganya mahal dan akses membelinya cukup jauh.
Saya pun mulai makan sayur jagung yang mereka sebut nasi jagung itu, rasanya cukup memprihatinkan karena jagungnya yang keras sehingga saya harus bekerja keras mengunyahnya.. Untunglah ada sambal, tapi sambalnya pun terasa aneh.. Yaa ampun baru sekali itu makan sambel mentah dari daun bawang, huhuuuu
Kami hanya sanggup berada di sana selama satu hari saja, rasanya cukup... Sebaiknya teman-teman rasakan sendiri berada di sana, saya rekomendasikan bagi jiwa-jiwa petualang seperti saya yang ingin merasakan alam dan sisi lain Indonesia..
Wah pengalaman yang cukup seru, menegangkan... Bekerja, belajar dan merasakan.. Semua harus seimbang.. Kepekaan hati bisa lebih terasah dengan merasakan yang seperti ini. alhamdulillah....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngatboy ---> Ngatman

Lensa

Terima kasih untuk para suami yang telah memuliakan istrinya