Menepis Gelap “Adyuta”
10 – 12 September
2016
Desa
Cibuntu, Bogor Jawa Barat
Perjalanan
kami pun dimulai sebelum matahari muncul dari peraduannya.
Sekitar pukul
3 pagi pun kami tengah bersiap untuk memulai perjalanan dari Jakarta menuju
Bogor. Kami pun tiba di kelapanunggal Bogor tidak jauh dari Jakarta via Cibubur,
di pintu masuk desa Kelapanunggal pun kondisi jalan sudah rusak jadi kita perlu
berhati-hati ketika membawa kendaraan. Sesampainya kami di lokasi pemberhentian
pertama ternyata signal juga sudah mulai susah didapatkan. Dan kami pun sabar
menunggu truk yang akan mengangkut kami ke tujuan utama yakni desa Cibuntu. Sekitar
kurang lebih selama 8 jam kami menunggu, akhirnya truk yang akan mengangkut
kami datang juga. Kenapa lama? Ternyata si supir truk juga memasukkan beberapa
barang sekaligus yang akan diantar juga ke Cibuntu supaya gak sia-sia, waktu
itu truk juga mengangkut semen dan ngebul banget lah yaa..
Kami pun
bergegas memasukkan barang-barang kita yang ternyata lumayan banyak.. hehe
maklum perlengkapan lenong pribadi aja udah banyak ditambah perlengkapan buat
produksi jadi kebayang kan.. gak terasa sekitar pukul 1 siang kami baru
berangkat dari pos pertama. Dan ternyata jalan yang kami lalui mulai dari awal
perjalanan lebih parah dari jalan menuju desa kelapanunggal tadi. Jalanannya tuh
kecil, sebagian besar masih tanah dan sebagian lagi udah ada batu-batu
kecilnya. Ini fotonya, tapi gak sempet ambil foto jalan yang paling parah
karena sibuk pegangan.. bersyukur gw bisa duduk di depan.. hehe jadi gak
parah-parah banget deh dibanding temen-temen gw di belakang.
Selama kurang lebih 2 jam
akhirnya kita sampai juga di lokasi yang dituju, sebetulnya sih lokasinya gak
jauh-jauh banget sih ya.. tapi karena jalanannya yang wow jadi lama deh dan gw
sempet tidur pula di dalem truk (bayangkan sendiri).
Setibanya di lokasi ternyata
penduduk desa udah dari paggi nunggu kami, soalnya di awal kita perkirakan tim
akan tiba pukul 9 pagi tapi ternyata jauh dari perkiraan. Kita langsung mulai
dengan acara tumpengan bersama warga, kebetulan lah perut udah keroncongan dari
pagi. Setelah perut terisi penuh, kami pun memulai berdialog dengan warga dan
tokoh setempat mengenai rencana kami selama di desa tersebut. Di luar
perkiraan, ternyata warga sangat antusias dengan kegiatan kami. Ada yang
mengira salah satu diantara kami artis beneran... hahaha
Foto di atas adalah pemeran
utama dari film kami “Menepis Gelap Adyuta” dari yang paling kiri Giri (gunung), Selo (padang rumput),
Ranu (danau), Segara (samudera), Adyuta (penerang). Nama-nama tokoh kita ambil dari alam,
karena memang sebagian dari kami suka menjelajah alam.
Kegiatan pengambilan gambar
pun berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan yang berat. Kegiatan sosial kami
pun juga berjalan di tengah-tengah kegiatan produksi seperti penyuluhan
kelestarian alam dengan mengolah sampah menjadi bahan bakar minyak dengan
tujuan untuk mengurangi sampah plastik. Kami juga memperkenalkan alat
pengolahan sampah yang kami buat sebelumnya, antusias warga dapat terlihat dari
foto berikut ini :
Lokasi desa yang tidak terlalu
jauh dari ibukota tapi ternyata kondisinya sangat meperihatinkan, di Desa
Cibuntu terdapat 2 RT, dimana di RT pertama dihuni sekitar 60 KK dan di RT
kedua yang lebih dikenal dengan sebutan pangkalan dihuni oleh sekitar 13 KK. Di
RT pertama sudah ada listrik, namun di RT kedua belum dialiri listrik, dan baru
2 tahun terakhir ini mereka menggunakan lampu tenaga surya sebagai penerangan
dan merupakan bantuan dari PLN. Banyak lampu-lampu bantuan tersebut yang sudah
mulai rusak dan tidak diganti komponennya oleh penduduk karena tidak tahu
bagaimana harus menggantinya. Bukan hanya tidak ada listrik, air pun juga sulit
mereka dapatkan. Sumber air utama mereka dari mata air di dekat mereka, namun
dengan kondisi kontur tanah yang tidak stabil dan banyak yang di atas mata air
maka masyarakat harus mengangkut air menggunakan ember bukan hanya orang tua
tapi anak-anak lah yang lebih sering mengambil air. Kondisi lainnya yang tidak
kalah menyedihkan adalah kamar mandinya. Hampir di setiap rumah tidak memiliki
sanitasi yang baik. Selama saya disana 3 hari, saya hanya mandi 2 kali saja
karena tidak bisa mandi dengan kondisi seperti itu dan itu pun terpaksa mandi
karena sudah gatal-gatal.
Kalau dilihat dari bentuk
rumah mereka sebetulnya sudah cukup baik, tapi kamar mandi itu sangat amat
bukan menjadi perhatian mereka. Entah kenapa... foto di atas adalah kamar mandi
yang paling baik yang saya temui selama disana, selebihnya hanya ditutupi oleh
kain-kain tanpa atap dan jauh dari rumah (di kebuun belakang rumah). Anak-anak
juga sepertinya terbiasa buang air kecil di sembarang tempat, pernah saya
menegur satu orang anak yang sehabis buang air kecil di sebelah bilik rumahnya
tapi hal tersebut dilakukan lagi dan bahkan orang tuanya juga cenderung
membiarkan hal tersebut terjadi. Jangankan kebiasaan cuci tangan, buang air
kecil saja di sembarang tempat.
Selain itu, jika dilihat dari
konsumsi rumah tangganya mayarakat tidak terbiasa mengkonsumsi berbagai jenis
sayuran. Sangat sulit menemukan sayuran disana, paling hanya daun singkong,
daun pepaya dan tebu bunga. Saya melihat di beberapa rumah sudah mulai ada
tanaman seperti kangkung dan bayam, setelah saya tanya ke Ibu RT ternyata baru
satu bulan ini program dari dinas pertanian mulai masuk ke daerah ini. Jadi terbayang
kan apa yang mereka konsumsi selama ini, jangan membayangkan makanan mewah
seperti daging sapi tapi untuk telur, tahu dan tempe sekalipun cukup sulit
mereka dapatkan. Kebetulan pas kita disana juga bertepatan sama idul adha dan mayoritan beragama Islam, namun tidak satu ekor pun ada kurban yang disembelih.. mungkin karena mereka semua juga masih kekurangan ya.. gak ada rame-ramenya sama sekali deh lebaran haji.. sepi... kaya biasa aja.
Sarana prasarana seperti
sekolah hanya ada satu sekolah dasar yang paling dekat dengan desa mereka. Untuk
anak-anak yang mau sekolah hingga SMA ya harus di luar desa yang cukup jauh. Ternyata
di desa Cibuntu sendiri baru ada 1 orang saya yang kuliah dan itu pun anak pak
RT yang kuliah di Jakarta. Ya semoga keluarga lainnya ikut termotivasi..
Untuk sarana kesehatan jangan
ditanya.. tidak ada sama sekali fasilitas kesehatan di sana. Kalau masyarakat
mau berobat ya harus menempuh perjalanan yang cukup jauh di desa sebelah,
dimana desa tersebut terdapat kantor desanya. Kalau orang mau lahiran gimana
yaa... walah dengan kondisi jalan seperti itu malah bisa lahir di jalan kali...
hahaha
Buat ibu-ibu hamil sangat
sedikit yang memeriksakan kehamilannya di puskesmas atau bidan, mereka
cenderung memeriksakan kehamilannya ke paraji (dukun beranak) setempat dan itu
pun cuma satu-satunya dan praktek yang dilakukan yaitu memijat, urut dan diberi
jamu-jamuan tradisional (apalah isinya). Kebetulan juga pas lagi acara
sosialisasi alat pengolahan sampah si ibu paraji juga ada di sana dan gak
sengaja duduk di samping gw. Dan gw pun ngobrol-ngobrol, kita gak bisa tutup
mata untuk profesi paraji tersebut dan masyarakat juga membutuhkannya kan
ketimbang harus ke bidan yang jauh disana... si paraji yang usianya udah cukup
tua juga menceritakan bahwa ketika si ibu habis melahirkan dilakukan tindakan
pijat untuk mengeluarkan darah nifasnya, dan memberikan parutan jahe ke jalur
lahirnya (waw kebayang kan rasanya kaya apa). Gw tanya, ibu belajar
keterampilan menolong orang lahiran dari mana? Dan dia jawab belajar sendiri..
(haha tambah heran lah gw). Sangat miris ya, mengingat lokasi tersebut tidak
jauh dari ibukota kita Jakarta dimana semua fasilitas bisa dengan mudah kita
temui dan gak perlu susah-susah dengan segala akses informasi yang sangat
terbuka.
Setelah kita berhasil
menyelesaikan proses pengambilan gambar, kita pun mengadakan nonton bareng sama
masyarakat dengan menyewa genset di desa sebelah dan mereka pun sangat antusias
dan bahagia walaupun dengan layar yang seadanya.
Kami pun bergegas untuk pulang
dengan menumpangi truk yang mengangkut kayu yang akan menuju ke kelapanunggal. Di
tengah perjalanan saya juga melihat kondisi hutan yang sudah ditebangi untuk
diambil kayunya namun belum ada tindakan menanam ulang pohon-pohon yang telah
ditebang tersebut.
ini foto perjalanan pulang kita waktu naik di atas truk yang berisi kayu..
Semoga bisa ke sana lagi untuk
kasih manfaat perubahan ke masyarakat kedepannya...
Komentar
Posting Komentar