Pembangunan Sosial (Studi Kasus Tenaga Kerja Indonesia)


STUDI KASUS 

Pembangunan Sosial (Studi Kasus Tenaga Kerja Indonesia)
Kesejahteraan mencangkup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisik belaka, tetapi juga ikut memperhatikan aspek sosial, mental dan spiritual. Selain itu kesejahteraan dapat diukur dari sejauh mana masalah sosial dapat diatasi, kebutuhan-kebutuhan terpenuhi, dan sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan dan diperoleh oleh warga masyarakat.
Seluruh keluarga, komunitas dan masyarakat memiliki apa yang disebut dengan masalah sosial akan tetapi berbeda bergantung pada bagaimana mereka mengatur masalah-masalah-masalah tersebut. Secara umum, masyarakat yang dapat mengatur dan mengatasi masalah sosial memiliki kesejahteraan sosial yang lebih tinggi dibanding yang lain. Ketidakmampuan untuk mengatur masalah-masalah sosial melahirkan kondisi yang disebut oleh Richard Titmuss (1974) sebagai “social illfare” atau penyakit sosial.
Kesejahteraan merupakan sasaran jangka panjang dari upaya pembangunan. Semua manusia, keluarga, komunitas dan masyarakat memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar manusia dapat mencapai kebahagiaan sosial (social contentment). Kebutuhan-kebutuhan tersebut yakni kebutuhan dasar yang mendesak seperti kebutuhan kelangsungan hidup seperti nutrisi, persediaan air minum dan permukiman. Kebutuhan hak sosial seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan sosial. Dan kebutuhan non-materi seperti partisipasi pada proses politik, dilindungi dari diskriminasi dan kesempatan untuk memperbaiki hidup.
Pengaturan masalah sosial, pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesempatan bagi rakyat merupakan syarat dasar dalam mencapai kesejahteraan sosial. Ketika ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhi, maka dapat dipastikan bahwa masyarakat tersebut gagal dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang diinginkan.
Pembangunan sosial merupakan suatu pendekatan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat seperti yang didefinisikan oleh (James Midgley, 1995) “a process of planned social change designed to promote the well-being of the population as a whole in conjungtion with a dynamic process of economic development”. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa suatu proses perubahan sosial terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi.
Pembangunan sosial seharusnya tidak disamakan dengan pembangunan ekonomi walaupun pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara, namun pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetap tidak akan mampu menjamin kesejahteraan sosial pada setiap masyarakat. Idealnya pembangunan sosial harus berjalan berdampingan dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa pembangunan ekonomi dan pembangunan ekonomi tidak akan berarti tanpa diiringi dengan peningkatan pada kesejahteraan sosial pada masyarakat secara menyeluruh, untuk itu perlu terjadi integrasi antara pembangunan sosial dan ekonomi.
Diharapkan pada tahun 2013 kualitas kehidupan masyarakat semakin meningkat. Sebagai bahan penulisan tugas UTS ini, Penulis menemukan bahwa ternyata masalah yang berkaitan dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri di tahun 2011 sangat tinggi, disamping isu permasalahan ekonomi, korupsi, HAM, dan permasalahan keadilan di Indonesia.

Analisis Kasus
Pendahuluan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Berbicara mengenai TKI, pasti langsung tebayangkan dalam benak kita bagaimana bekerja di luar negeri, mendapatkan gaji besar dan dapat memperbaiki taraf hidup keluarga yang selama ini tidak tersentuh pembangunan oleh negeri sendiri.  Dibalik kesuksesan yang dijanjikan tidak pelak juga banyak terjadi kisah tragis, bukan untung yang didapat tapi malang tak dapat dihindari dan bahkan berakhir dengan maut. beberapa tahun terakhir ini kasus kekerasan yang diterima oleh TKI Indonesia di luar negeri menjadi sorotan serius oleh media terutama atas pelanggaran HAM.
Sebelum membahas tentang TKI, alangkah baiknya jika kita tahu terlebih dahulu siapakah mereka. TKI merupakan kepanjangan dari Tenaga Kerja Indonesia. TKI merupakan istilah yang diberikan pada warga Indonesia yang merantau ke luar negeri untuk bekerja atau mencari penghasilan dalam kurun waktu tertentu. Istilah ini digunakan untuk semua jenis kelamin. Namun, untuk  TKI wanita lebih umum disebut dengan TKW (Tenaga Kerja Wanita). Keberadaan TKI bagi Indonesia sangat menguntungkan. Pertama, mereka adalah penyumbang devisa yang sangat besar. Sumbangan mereka mencapai angka lebih dari 100 trilliun setiap tahun. Kedua, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan mensejahterakan hidup  keluarga. Ketiga, mengurangi jumlah pengangguran.
Jumlah TKI yang merantau ke luar negeri sangat besar. Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI), ada 12 negara yang tercatat sebagai tujuan terbesar TKI indonesia. Peringkat pertama dipegang oleh Saudi Arabia dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1,4 juta pada kurun 2006-2012 dan peringkat kedua dan ketiga ditempati oleh Malaysia dan Taiwan. TKI tersebut dibagi menjadi TKI formal dan informal. TKI formal merupakan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang nantinya ditempatkan berdasarkan kompetensi masing-masing, seperti tenaga kesehatan. Adapun tenaga informal yaitu tenaga kerja yang masih minim  kompetensi. Tenaga seperti ini ditempatkan menjadi pembantu rumah tangga.
TKI formal memiliki peluang pekerjaan yang lebih baik dibandingkan TKI informal. Mereka bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Namun, jumlah TKI formal lebih sedikit dibandingkan dengan TKI informal. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenakertrans pada 2011, jumlah TKI formal hanya 264.756 orang (45,56%), sedangkan TKI informal mencapai 316.325 orang (54,44%).
Menjadi TKI bukan tanpa masalah. Banyak sekali problematika yang muncul menyertai kisah para perantau tersebut. Problematika tersebut terjadi ketika  prapenempatan, saat penempatan, dan  purnapenempatan. Masalah prapenempatan misalnya pemalsuan identitas dan dokumen pemberangkatan, minimnya pelatihan, dan penipuan oleh calo. Saat penempatan muncul masalah seperti eksploitasi kerja, gaji tak dibayar, pembatasan ibadah/ komunikasi dengan  keluarga, kekerasan, dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh majikan. Adapun msalah yang muncul saat  purnapenempatan adalah penipuan, disharmonis dengan keluarga, hamil, sakit hingga kematian.
Masalah yang paling santer dibahas tentu  kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI. Berdasarkan laporan dari dubes RI di seluruh dunia, tercatat 4.532 kasus kekerasan sepanjang tahun 2010. Adapun negara yang memiliki tingkat kasus tertinggi dipegang oleh Malaysia dan disusul dengan Arab Saudi. Berdasarkan data yang dilansir oleh Migran Care, 1000 kasus kekerasan tercatat di Malaysia dan 57 kasus di Arab Saudi pada 2010.
Meski sudah banyak cerita tragis, tetap saja tidak menyurutkan minat ribuan warga Indonesia untuk mempertaruhkan nyawa mencari sesuap nasi di perantauan. Minimnya lapangan pekerjaan dan  kesenjangan  pembangunan antara di kota dan di desa yang  tidak merata hampir di seluruh Indonesia merupakan salah satu pemicunya. Tuntutan biaya hidup yang semakin besar, misalnya untuk menyekolahkan anak, mensejahterakan  hidup keluarga, dan  membeli kebutuhan  hidup lainnya (kebutuhan dasar). Jumlah gaji yang diterima ketika menjadi TKI cukup besar dibandingkan dengan gaji di Indonesia. Sebut saja gaji menjadi pembantu rumah tangga. Gaji di Indonesia berkisar 500 ribu-750 ribu rupiah. Padahal kalau di Arab Saudi, mereka digaji 700 riyal atau setara dengan Rp 1.610.000.  selain itu ajakan anggota keluarga yang telah menjadi TKI terlebih dahulu. Keluarga bisa menjadi link sekaligus orang yang bisa dipercaya untuk bisa menjaga anggota keluarga lain yang berniat pergi merantau. Lingkungan tempat tinggal yang masyarakatnya sudah menjadi TKI turun temurun seperti di daerah Nusa Tenggara, Jawa Barat dan Indramayu. Hal-hal tersebutlah yang merupakan alasan mengapa orang-orang memilih menjadi TKI di luar negeri.
Selain itu,  problematika juga  muncul karena belum optimalnya perlindungan dan layanan  penempatan bagi mereka. Meskipun sudah muncul berbagai institusi dan layanan pro-TKI seperti Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI), Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) hingga layanan Call Center Bebas Pulsa 08001000, belum ada yang bisa memberikan layanan memuaskan untuk para TKI. Bahkan muncul spekulasi kalau pengurusan Kartu tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) digunakan untuk ajang mencari uang oleh oknum tertentu. Banyak juga oknum yang memanfaatkan masalah penempatan untuk mendapatkan keuntungan.
Selain institusi dan layanan yang belum optimal, problematika TKI muncul karena ketiadaan perwakilan RI di negara penempatan kerja. Di Taiwan misalnya, terjadi pemerasan terselubung pada TKI yang mengurus paspor di Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI). Para TKI terpaksa mengurus paspor di sana karena ketiadaan kantor KBRI di negara tersebut. TKI diharuskan membayar NT$1800 atau Rp 6.000.000 yang setara dengan 6 kali lipat dari harga semula yaitu NT$300 atau Rp 100.000 yang tanpa diberi kuitansi resmi.
Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki payung hukum yang jelas untuk melindungi para TKI. Beberapa payung hukum tersebut sebagai berikut :
1.      UU No.5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3783).
2.      UU RI No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.4279)
3.      UU RI No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
4.      UU RI No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Walaupun sudah banyak peraturan perudang-undangan yang berbicara mengenai perlindungan TKI, tetap saja peraturan kebijakan perundang-undangan yang ada tidak berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan tersebut cenderung terus berulang dan tidak pernah selesai. Hal ini juga disebabkan karena pemerintah Indonesia terlalu kaku dan kurang berani dalam menjalankan peraturan. Hanya keuntungan devisa saja yang diperhatikan, tetapi perlindungan akan hak para TKI di luar negeri sangat lemah dan tidak jelas.
Contoh kasus diatas dapat dikatakan sebagai masalah sosial karena masalah TKI menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada individu atau masyarakat, masalah TKI juga merupakan masalah yang sudah berlangsung dalam periode tertentu, terdapat pelanggaran terhadap nilai-nilai dan standar sosial dari sendi kehidupan masyarakat dan menimbulkan kebutuhan untuk dipecahkan. Masalah TKI merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang ada di Indonesia. hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang kuat antara kesenjangan pembangunan antara desa dan kota yang tidak merata sehingga dapat menjadi akar dari permasalahan tersebut.

Rekomendasi
Penulis mengusulkan dalam pemecahan masalah perlindungan TKI ini harus dilakukan dalam berbagai tahap dan secara komprehensif. Peran sebuah  institusi TKI sangat besar. Mereka bertanggung jawab untuk melindungi hak dan keselamatan tenaga kerja, mengatur penempatan dan prosedur, menfasilitasi kebutuhan, dan menciptakan layanan yang terbaik seharusnya intitusi dan pemerintah lebih memperhatikan lagi masalah pengoptimalan peran institusi dan layanan TKI, mulai dari masa prapenempatan, masa penempatan, hingga purnapenempatan.
1.      Prapenempatan. Pada masa ini, institusi berperan sebagai fasilitator yang bertanggung jawab untuk mengurusi keperluan TKI yang akan berangkat ke luar negeri.  Institusi membuka pelayanan yang dibagi menjadi dua macam, yaitu pelayanan administrasi dan pelayanan praktek. Pertama, pelayanan administrasi berkaitan dengan pengurusan dokumen, kelangkapan administrasi, dan surat-menyurat. Pada layanan ini, prosedur pelayanan harus jelas dan tidak berbelit-belit. Kedua, pelayanan praktek yang berkaitan dengan proses pembekalan kompetensi pada calon TKI. Misalnya Balai Latihan Kerja. Pada pelayanan ini, harus benar-benar dipastikan bahwa pembekalan kemampuan TKI berlangsung optimal. Dengan demikian para calon TKI kita mendapatkan keterampilan yang baik dan bisa menjadi bekal mereka untuk merantau ke luar negeri.
2.      Penempatan. Pada saat penempatan, institusi berperan sebagai pengawas. Mereka bertanggung jawab untuk mengawasi keselamatan para TKI dan memberikan perlindungan bagi mereka. Di sinilah saat pemerintah dan institusi TKI harus benar-benar bekerja keras agar tidak teradi kasus kekerasan majikan pada TKI, pelecehan seksual, pembunuhan, penahanan gaji, dan lain-lain.
3.      Purnapenempatan. Pada saat purnapenempatan, institusi TKI berperan sebagai fasilitator kembali. Artinya institusi bertanggung jawab untuk mengurusi dokumen dan administrasi kepulangan para TKI. Selain itu, mereka juga harus memberikan pembekalan pada purna-TKI tentang cara berwirausaha, mengatur keuangan, dan merencanakan kehidupan masa depan. Pembekalan macam ini sangat penting agar kehidupan para purna-TKI akan lebih baik.

Pemerintah juga perlu mendirikan perwakilan  di seluruh negara penempatan TKI, seperti kantor pusat pelayanan dan perlindungan TKI. Pemerintah juga harus melakukan pengawasan yang ketat kepada PJTKI ataupun institusi legal yang menangani TKI agar tidak terjadi kecurangan atau pemalsuan dokumen. Pemerintah perlu merealisasikan kebijakan perencanaan pemerataan pembangunan antara desa dan kota sehingga tidak terjadi kepincangan pembangunan. Hal tersebut diharapkan mampu menjawab akar permasalahan sosial seperti permasalahan TKI ini.
Selain itu masyarakat juga dapat berperan aktif  dalam proses sosialisasi kepada masyarakat pada umumnya dan calon TKI pada khususnya tentang prosedur dan pelayanan yang benar. Masyarakat juga dapat  melakukan  pengawasan dengan melaporkan kepada pihak berwenang apabila menemukan penyelewengan calon TKI atau institusi TKI yang tidak sesuai prosedur. Selain itu masyarakat dapat berperan dalam masa purnapenempatan yakni dengan membuka layanan peduli TKI atau membuka LSM yang menangani masalah kepulangan TKI. Pada akhirnya upaya untuk mengatasi masalah TKI di luar negeri yakni diperlukannya kerjasama antar negara karena hal ini berjalan lintas negara. Yang harus dilakukan pemerintah adalah memaksimalkan upaya perlindungan terhadap para pekerja migran di luar negeri dan membuat kesepakatan yang jelas dengan negara-negara penerima TKI agar komitmen menjamin kesejahteraan dan keselamatan mereka.

Soal No. 2
Pendahuluan
Dalam proses pembangunan baik di dunia Internasional maupun di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi mikro yang menggambarkan bagaimana institusi negara melalui kebijakan dan peraturan yang dibuatnya mempengaruhi proses perubahan di suatu  masyarakat. Sedangkan dimensi yang kedua adalah dimensi mikro, dimana individu dan kelompok dalam masyarakat mempengaruhi proses pembangunan itu sendiri. Namun dalam implementasi pembangunan sosial sebagai paradigma pembangunan ternyata tidaklah terlalu mudah, antara lain karena kerangka berpikir pembuat kebijakan dan pelaksana program yang kurang memahami dan atau memiliki alur berpikir yang berbeda.
Paradigma pembangunan sosial yang terkait erat dengan pembangunan ekonomi, menyebabkan paradigma ini menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan. Padahal dalam teori pembangunan  sosial masyarakat  bukan hanya ekonomi saja yang menjadi tolak ukur tetapi juga berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi, kepercayaan (modal sosial) dan sebagainya yang berhubungan dengan manusia sebagai central pembangunan.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan  masih cenderung  menggunakan pendekatan top-down approach dan bukannya melakukan pendekatan bottom-up approach, sehingga mengakibatkan pembangunan yang berjalan tidak selalu berhasil, hal ini karena selain perencanaan yang tidak tepat, tidak adanya kesamaan alur berpikir dan konsep dari pelaksana program secara langsung  juga dapat menjadi penghambat pada saat implementasi sebuah program pembangunan. Program pembangunan yang direncanakan lebih bersifat bantuan secara langsung (konsumtif) dan tidak diperuntukkan untuk merangsang proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan pergerakan masyarakat itu sendiri sebagai fokus pembangunan. Proses pembangunan sosial seharusnya lebih tertuju pada manusia yang dapat mengimplementasikan rencana dan strategi spesifik untuk mencapai tujuan-tujuan pembanguan sosial itu sendiri.
Ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan antara pembuat kebijakan dan pelaksana program agar memiliki alur berpikir yang sama antara lain yakni tahapan sebelum proses pembangunan atau program dilaksanakan, pembuat kebijakan juga perlu mendengarkan masukan dari badan-badan atau lembaga yang terkait dalam pengimplementasian program secara langsung. Yang kedua pada saat program berjalan perangkat atau sarana dalam melaksanakan porgram juga harus diperhatikan sehingga apabila terdapat masalah dapat langsung diperbaiki di tengah-tengah program. Dan yang terakhir  setelah program dilaksanakan, evaluasi perlu dilakukan untuk mengukur apakah output sesuai dengan input, dan ketepatan dalam skala prioritas.

faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan Pembangunan Sosial
Ukuran keberhasilan pembangunan sosial jauh lebih kompleks, karena dalam kenyataannya permasalahan sosial di Indonesia masih cukup beragam dan tinggi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, tidak  selalu menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula. Dalam pelaksanaan proses pembangunan sosial yang dilakukan pasti didalamnya terdapat berbagai faktor, baik yang mendukung ataupun yang dapat menjadi penghambat dalam penerapan dan  implementasi pembangunan khususnya pembangunan sosial yang telah direncanakan.
Faktor pendukung dalam penerapan pembangunan sosial di Indonesia antara lain yakni potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah, peranan Swasta, NGO dan Organisasi lain yang fokus terhadap permasalahan sosial, homogenitas dan hetrogenitas solidartas, hal-hal tersebut merupakan pondasi yang kuat (faktor penting) yang dapat mendukung penerapan pembangunan.
Sedangkan faktor-faktor penghambat dalam penerapan pembangunan sosial di Indonesia antara lain adalah luas wilayah dan keberagaman budaya, pendekatan pembangunan yang bersifat Top-down dan  hanya fokus terhadap pertumbuhan ekonomi. Belum terwujudnya Good and clean governance secara maksimal. Serta paradigma ketergantungan yang merupakan akibat dari kelemahan konsep pembangunan yang ada, seperti penggunaan komponen-komponen industri dari luar negeri menyebabkan ketergantungan dari segi teknologi dan kapital.

 Daftar Bacaan :
Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan pembangunan. Jakarta : Pustaka Jaya.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Sumodiningrat, Gunawan. 2007. Pemberdayaan Sosial. Jakarta : Kompas.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Elex Media Komputindo : Jakarta.
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasinnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi. 2009. Analisis Kebijakan Puplik; Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Media Pressindo : Yogyakarta.
Arif, Johar. 2011. Mudahnya Menjadi TKI Ilegal. 22 November. Jakarta : Antara. http://www.republika.co.id/berita/nasional/bnp2tki/11/11/22/lv21te-mudahnya-menjadi-tki-ilegal.
www.Buruhmigran.or.id.  dalam artikel berjudul Perlindungan Sosial untuk TKI (3) pada 25 Juni 2012.
Hidayat, Andy Riza. 2009. TKI ILEGAL: Masalah Berawal dari Rumah Kita. Jakarta : Kompas. http://www.gugustugastrafficking.org/index.php
................ 2011. Yuk, Mengatasi Masalah Tki Lewat Perbaikan Layanan Dan Perlindungan Untuk Mereka. http://benitoramio-nugroho.blogspot.com/2012/07/yuk-mengatasi-masalah-tki-lewat.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngatboy ---> Ngatman

Lensa

Terima kasih untuk para suami yang telah memuliakan istrinya