“Simbiosis Mutualisme” di Sudut Jalan Ibu Kota Jakarta
Setelah melakukan observasi selama beberapa hari di waktu yang berbeda, observasi saya lakukan pada hari senin, selasa dan rabu sekitar pkl. 16.10 – 18.00 wib di Simpang Empat Pasar Rebo Jakarta Timur..

Di salah satu sudut jalan Simpang Empat Pasar Rebo yang menuju ke arah TB Simatupang, adalah tempat yang cukup ramai dipenuhi oleh penumpang yang menunggu kendaraan umum khususnya S15 . Termasuk saya, sambil menunggu angkot yang saya tumpangi berangkat, memang sudah jadi kebiasaan angkot-angkot di Jakarta untuk berhenti menunggu penumpang naik (ngetem). Waktu yang dibutuhkan sekitar 10 – 15 menit, ya bukan waktu yang sebentar untuk saya sebagai orang yang cukup sibuk.
Saya melihat ada laki-laki paruh baya, berusia kurang lebih sekitar 40 tahunan menggunakan celana jeans panjang agak lusuh, kemeja bertangan pendek yang dimasukkan kedalam celana panjangnya sehingga ikat pinggang yang ia gunakan dapat terlihat, dan sepatu pantofel yang agak usang karena terlapisi debu jalanan. Penampilannya yang cukup mencolok ditengah hiruk pikuk jalanan, membuat saya tertarik untuk memperhatikan laki-laki paruh baya itu lebih lama. Dengan sebatang rokok yang tidak pernah terlepas dari tangannya, ia berjalan dari satu angkot ke angkot lainnya yang ngetem di jalan itu. Angkot yang berhenti berbaris dengan rapih, urutan yang datang belakangan akan otomatis menempati urutan paling belakang. Tetapi tidak jarang juga beberapa angkot yang saya lihat langsung segera melaju sehabis mengangkut penumpang. Dan laki-laki itu menghampiri angot yang akan melaju, kemudian meminta uang ya seperti uang parkir atau apapun sebutannya. Tidak terlalu jelas berapa uang yang diberikan supir angkot itu kepadanya.
Sebelum angkot yang saya tumpangi berangkat, laki-laki itu pun menghampiri supir sambil menadahkan tangannya dan supir memberikan uang pecahan Rp. 2000 kepadanya. Lalu dia melanjutkan ke angkot-angkot yang ada di belakang saya dan seterunya kepada setiap angkutan umum yang berhenti di jalan itu.Keesokkan harinya, saya pun melalui jalan yang sama. Hanya saja waktunya agak lebih sore hampir petang. Kondisi cuaca yang agak gerimis mengakibatkan jalanan lebih padat dari biasanya. Semua orang saling berebut untuk lebih dulu melalui jalan itu, ya karakteristik jalanan ibu kota yang kadang juga mempengaruhi karakter warganya untuk bersikap lebih keras. Sambil menunggu, saya melihat kembali laki-laki yang kemarin saya perhatikan. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan yang kemarin. Dengan segelas air berwarna hitam pekat di genggaman tangannya (kopi), seperti biasa ia menghampiri angkot demi angkot yang ada di depannya. Sesekali ia menepi ke warung rokok di pinggir jalan itu. Ada beberapa pengamen jalanan yang berusia sekitar 15 – 19 tahun lewat di depannya, dan pengamen itu pun berhenti di depannya sambil mengeluarkan uang receh hasil mereka mengamen untuk diberikan kepada laki-laki itu. Sesaat kemudian laki-laki itu menghampiri pedagang gorengan di seberang jalan dan mengambil beberapa gorengan.
Kemarin saya pikir mungkin laki-laki itu memang berprofesi sebagai timer untuk angkot tertentu saja (S15). Tetapi setelah saya melihat lagi saya rasa laki-laki paruh baya itu adalah seorang preman.Keesokkan harinya, dengan jalur yang sama. Pada pukul 16.10 wib, saya pun memutuskan untuk tidak langsung naik angkot. Saya pun penasaran, apakah laki-laki itu ada lagi atau tidak. Mata sayapun mulai mencari-cari melirik ke hampir seluruh penjuru di jalan itu. Dan saya pun melihat laki-laki itu lagi, tapi saat itu ia tidak sendiri. Ada seorang laki-laki berseragam seperti polisi, tapi bukan polisi saya kira ia adalah seorang Satpol PP yang sedang berbincang dengannya. Petugas berseragam itu menghampiri pedagang buah, dan pedagang kaki lima lainnya di sepanjang trotoar jalanan. Dan para pedagang itu pun langsung memberikan uang yang saya tidak tahu kisarannya kepada petugas berseragam itu. Dan ia pun melanjutkan hingga ke pedagang berikutnya dan seterusnya. Seperti ada pembagian kekuasaan ketika saya melihat kejadian itu. Padahal setau saya jika ada razia pedagang kaki lima pasti ada mobil patroli dan beberapa orang petugas lainnya, tapi yang saya lihat tidak seperti itu ia seorang diri.
Preman kerap kali identik dengan sosok menyeramkan berwajah sangar dengan pakaian belel penuh robekan di beberapa tempat, serta lambang identitas berupa tato di sekujur tubuh yang tak pernah lepas dari imej seorang preman. Identitas berupa tato ular sampai tato naga serta hewan – hewan lain digunakan untuk menggambarkan kekuatan dan kekuasaan. Tetapi dari gambaran kejadian itu, saya melihat ternyata preman juga ada yang tidak sembarangan. Bajunya bukanlah baju sembarangan, tidak terdapat robekan, namun mampu menakuti orang di wilayah tersebut terutama para pedagang kaki lima. Tato tidaklah lagi menjadi senjatanya untuk menunjukkan kekuasaan tetapi di tangannya diletakkan otoritas yang kekuatannya mampu menghancurkan keadilan. Yang saya pernah temui di beberapa tempat yang berbeda para petugas Satpol PP juga seringkali memalak para pedagang asongan yang berjualan di sepanjang trotoar, dan bahkan terkadang mereka juga meminta rokok dengan gratis.
Sebenarnya praktek-praktek premanisme bukan hanya baru-baru ini saja. Tetapi praktek ini bahkan sudah turun temurun. Menurut sejarah, sebenarnya asal-mula preman bersala dari bahasa Belanda, Fremach yang artinya : seseorang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial belanda dengan cara merampok harta mereka untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin seperti layaknya Robinhood yang membela hak-hak masyarakatnya yang tertindas oleh pejabat yag berkuasa pada waktu itu. Akan tetapi mengalami perubahan kepada arti dan tujuan yang negatif, yaitu : orang yang melakukan perampasan atau perampokan harta orang lain.
Jika dilihat dari pendapatan, omset yang didapatkan oleh preman yang berada di simpang empat Pasar Rebo dengan preman kelas atas tersebut sungguhlah berbeda jauh. Preman yang ada di jalan ini berpenghasilan antara Rp. 100.000 – Rp. 200.000/per hari sedangkan misalnya saja John Kei yang mampu mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 50 juta/hari angka ini bukanlah angka yang sedikit.Praktek-praktek premanisme di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti di Jakarta, akan sulit untuk diselesaikan hingga ke akarnya. Hal ini disebabkan karena premanisme sudah menjalar hampir di setiap elemen, termasuk aparat penegak hukum hingga elite politik yang ada di parlemen.
Premanisme sendiri memiliki arti sebagai tindakan kejahatan yang meresahkan keamanan masyarakat serta menganggu ketertiban umum dan memberikan pengaruh yang negatif bagi kesejahteraan dan perekonomian masyarakat. Jika dilihat berdasarkan klasifikasinya, premanisme memiliki 3 (tiga) macam tingkatan, yaitu :1. Premanisme tingkat profesional, premanisme yang dilakukan dengan cara terorganisir dan berlindung di bawah organisasi masyarakat atau partai politik yang difasilitasi dengan dana yang memadai. Premanisme jenis ini biasanya sulit diberantas karena mendapatkan perlindungan dari kelompok yang mempunyai hubungan politik dengan sebagian oknum pejabat pemerintah. Mereka para preman jenis ini berseragam dan tidak nampak seperti preman jalanan. Mereka disewa dan dibayar oleh sebuah perusahaan atau instansi tertentu untuk merampas tanah-tanah milik masyarakat tau membalak setiap pertokoan dengan cara membelinya dengan harga murah dan penuh tipu muslihat. Preman berkrah putih telah banyak menyengsarakan masyarakat dengan mengambil hak-hak mereka dengan politik tipudaya.
Komentar
Posting Komentar