Perempuan

Menjadi seorang perempuan tidaklah mudah, banyak hal yang harus ia tanggung lebih dari sekedar membawa dirinya sendiri melainkan membawa status ke-perempuannya. Seperti yang kita ketahui bersama sejak jaman perjuangan emansipasi dan perjuangan gender. Kesenjangan perempuan tidaklah benar-benar sama seperti kaum lainnya.

Belum seluruh perempuan mendapatkan pendidikan yang setara apalagi di daerah-daerah terpencil dan pelosok jauh dari akses. Dalam keterbatasan ekonomi, anak perempuan kerap memilih berada di rumah untuk membantu keluarga terutama ibunya. Hal itulah yang menjadi cikal bakal ketidaksetaraan yang terjadi sepanjang hidupnya. Selanjutnya ia mengalami kerentanan sistematis lainnya.

Secara tidak sadar, tidak perlu jauh-jauh kita lihat saja ibu kita di rumah. Di saat kondisi rumah tangga mengalami kesulitan bukan hanya bapak yang menanggung bebannya melainkan ibu lah yang sebetulnya menanggung lebih banyak. Seperti dalam hal kebutuhan ekonomi, di saat kepala rumah tangga hanya mampu memberikan nafkah secara fisik lebih rendah dari kebutuhan hidup minimal keluarganya maka perempuan harus benar-benar memutar otak agar seluruh kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi. Coba kita lihat seberapa sering ibu kita membeli barang-barang untuk kebutuhannya sendiri. Karena jika ada uang lebih sekalipun, meskipun ia ingin membeli kosmetik  atau pakaian baru yang ia inginkan tapi hal itu tidak terjadi melainkan ia lebih memilih untuk membeli makanan untuk keluarganya.

Hal lainnya juga terjadi untuk rumah tangga petani, khususnya untuk petani gurem atau buruh tani. Ketika terjadi kegagalan panen, maka perempuan akan berupaya sebisa mungkin mengatur bagaimana caranya agar keluarga mereka bisa tetap makan hingga musim panen selanjutnya. Bahkan tidak jarang perempuan lah yang musti berhutang untuk keperluan konsumsi rumah tangga dan modal untuk musim tanam selanjutnya.

Ketika terjadi kekeringan, terlebih di daerah timur Indonesia. Saya sering melihat perempuan kerap mengambil air dari daerah yang terbilang tidak dekat. Air tersebut untuk kebutuhan konsumsi keluarga, tanaman, dan ternak di rumah mereka. Bukan hanya perempuan dewasa saja, melainkan anak-anak perempuan juga melakukannya. Sampai di suatu daerah di Nusa Tenggara Timur yang pernah saya temui terdapat sebuah prinsip yang berkembang di masyarakat, dimana laki-laki lebih gengsi untuk bekerja dan mereka memilih untuk di rumah sedangkan perempuanlah yang harus bekerja ke ladang bahkan sambil mengasuh anak-anak mereka.

Berbicara mengenai bekerja atau tidaknya seorang perempuan, semua sama-sama memiliki besarnya tanggung jawab ketika mereka sudah berumah tangga. Untuk perempuan yang bekerja, ketika mereka memiliki anak seperti teman-teman saya. Banyak yang memutuskan untuk berhenti bekerja Karena memilih mengurus anaknya di rumah, hal tersebut tidak slah sama sekali. Tapi sebagian besar dari mereka bukan sekedar lulusan sarjana saja tetapi master. Setelah sekian lama di rumah pasti banyak kebosanan yang melanda, dari bangun tidur sampai tidur lagi yang ditemui itu-itu saja dan sering tidak punya waktu “me time”. Terbayang sih bagaimana rasanya, sedangkan mereka juga pasti punya kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Perempuan.. perempuan...
Perempuan sejak dini selalu diajarkan untuk menjaga dirinya lebih tepatnya kehormatannya. Ketika terjadi hubungan pranikah yang sampai menghasilkan anak dari hubungan tersebut. Maka yang akan menanggung resiko lebih banyak pastilah perempuan, dimana mereka bukan hanya menanggung beban secara fisik saja melainkan juga beban secara psikologis yang lebih besar dibandingkan dengan pasangannya. Saya tidak mengatakan bahwa beban pasangannya tidak berat juga, tetapi itulah yang dirasakan. Momok kecaman dari masyarakat yang cenderung menyalahkan perempuan karena tidak bisa menjaga diri sangat besar, kenapa tidak kaum lainnya juga dikenakan beban yang sama. Tentu berbeda, karena perempuan lah yang membesarkan benihnya.

Bagaimana dengan perempuan yang menjadi selingkuhan atau istri simpanan?
Dalam suatu hubungan yang tidak legal, maka yang disalahkan hanyalah perempuan. Mereka dianggap sebagai kelompok penggoda, penganggu bahkan perusak rumah tangga. Bagaimana dengan laki-laki, mereka seakan menjadi korban atas hubungan tersebut padahal terkadang laki-laki juga lah yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Tidak mungkin suatu hubungan akan terjadi jika tidak ada keinginan dari keduanya, semua memiliki andil yang sama dan setara. Tapi yang menanggung momok negatif selalu perempuan.

Sedangkan untuk istri di rumah apalagi mereka yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, maka dapat terbayang bagaimana beban psikologis yang mereka alami ketika mereka diselingkuhi. Mereka sepenuh jiwa membaktikan diri untuk keluarganya tapi ketika disakiti, apa yang mereka rasakan. Terlebih ketika terjadi perceraian, untuk seorang perempuan pasti tidak mudah menyandang status janda. Jangankan membangun hubungan rumah tangga yang baru, mereka lebih memikirkan untuk membesarkan anak-anak mereka. Jika perempuan itu berpendidikan rendah dan ekonomi lemah, ketika bercerai bisa dipastikan mereka akan berada dalam kondisi yang sangat rentan.

Sampai sekarang perempuan tidak benar-benar bisa memilih, itulah perempuan mereka bersedia berkorban bahkan sampai merelakan diri dan jiwanya. Oleh sebab itu perempuan minimal harus cerdas, mandiri, kuat dan berpendidikan. Karena menjadi perempuan tidaklah mudah, apalagi dalam berumah tangga. Dari wanita cerdas akan lahir generasi-generasi cerdas selanjutnya.

Kali ini saya menulis dari perspektif perempuan, jadi tidak ada maksud untuk menghakimi atau menganggap buruk yang lainnya.


-EA-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngatboy ---> Ngatman

Lensa

Terima kasih untuk para suami yang telah memuliakan istrinya