Intelegensi Emosional (EQ)


Ada tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi Allah SWT dalam pemeliharaan-Nya, ditaburi rahmat-Nya dan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Yaitu apabila diberi ia berterimakasih, apabila berkuasa ia suka memaafkan dan apabila marah ia menahan diri (mampu menguasai diri).
HR. Hakim dan Ibnu Hibban

Hadis di atas adalah cermin seseorang yang memiliki kecerdasan emosional (emotional Qouotient) atau lebih dikenal dengan EQ. Seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain dengan baik dan mampu mengendalikan diri, karena orang tersebut memiliki “pengetahuan tentang diri” (baik diri sendiri maupun orang lain).

Menurut Imam Ghazali, ada beberapa jenis golongan manusia. Pertama, orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Kedua, orang yang menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Ketiga, orang yang menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Dan keempat, orang yang menyadari bahwa dirinya tahu.
Orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu yakni orang-orang yang benar-benar tidak tau berbagai masalah, dan tentunya tidak tahu mengapa hal tersebut terjadi. Celakanya lagi dia tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu hal tersebut. Biasanya orang-orang seperti ini justru menyombongkan diri, dan memiliki sifat egoisme. Orang dengan kategori ini sangat sulit untuk dididik apalagi mengembangkan dirinya.
Sedangkan golongan yang lainnya yakni orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tahu. Yakni orang-orang yang tahu sejumlah hal, namun mereka tidak mampu mengkomunikasikannya dam memanfaatkan prestasi-prestasinya tersebut. Nah orang-orang dalam golongan inilah yang memiliki IQ tinggi namun lemah dalam mengenali dirinya sendiri atau terhadap orang lain.

Sebelum kita membahas EQ lebih jauh lagi, sebaiknya kita harus tahu lebih dahulu apa sebenarnya emotional Qouotient  (EQ) itu sendiri. Intelegensi emosional adalah kemampuan untuk melihat, mengamati, mengenali bahkan mempertanyakan tentang diri sendiri, “siapakah aku sebenarnya?” pertanyaan ini berkaitan tentang kedirian.

Perbandingan IQ dan EQ, menurut tradisi Sufi diibaratkan seperti kuda dan penunggangnya. Jika harus memilih, biarkanlah kudanya yang buta asalkan penungangnya dapat melihat daripada penungangnya yang buta, akibatnya kuda dapat tersesat dan bahkan terperosok ke dalam jurang. Maksudnya, jika dihadapkan pada pilihan yang pelik, seseorang haruslah mengutamakan EQ daripada IQ karena tidak mungkin seseorang memahami yang lain sebelum ia memahami dirinya terlebih dahulu.

Ada sebuah contoh kasus yang sangat tragis terjadi pada seorang pelajar. Berkaitan dengan IQ-nya yang tinggi, tetapi sebaliknya EQ-nya sangat rendah. Seorang siswa SMU yang cerdas memiliki cita-cita memasuki fakultas kedokteran Harvard university. Akan tetapi karena salah seorang gurunya, yakni guru fisikanya memberikan nilai 80 pada siswa tersebut, akibatnya sangat fatal. Siswa tersebut beranggapan bahwa dengan nilai itu ia akan terhalang memasuki fakultas kedokteran seperti yang diharapkan. Siswa itu kemudian mengambil sebuah pisau dan ia pun menusuk guru fisikanya hingga meninggal dunia.
Dari kasus tersebut dapat dibayangkan, apakah dengan tindakan penusukan yang dilakukan, siswa SMU tersebut dapat memasuki fakultas kedokteran yang diimpikannya?. Jelas tidak, justru dengan tindakannya tersebut ia harus berurusan dengan tindakan hukum. Disinilah dikatakan yang pintar dapat berubah menjadi bodoh, karena apa yang diupayakan begitu lama, seperti belajar dan mendisiplinkan diri agar meraih apa yang dicita-citakannya hancur berantakan karena ketidak mampuannya untuk mengendalikan diri sendiri.

Intelegensi emosional tidaklah berkembang secara alamiah. Seseorang tidak dapat dengan sendirinya memiliki kematangan emosional semata-mata karena hanya pada perkembangan biologisnya. Sebaliknya, EQ sangat tergantung pada proses pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan dan terus-menerus. Di sinilah peran orang tua menjadi sangat penting untuk memupuk intelegensi emosional anak-anak kita.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua dalam menanamkan EQ pada anak sejak dini. Kita tersebut yakni pertama, menumbuhkan kemampuan untuk mengekspresikan diri, mengekspresikan ide, gagasan atau pendapat dan berkomunikasi dengan orang lain. Dan yang kedua menanamkan pembelajaran hidup berorganisasi dan sosialisasi, berperan penting dalam mengembangkan dialek kedirian dan pematangan, baik emosi atau intelegensi anak-anak kita. (berbagai sumber)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngatboy ---> Ngatman

Lensa

Terima kasih untuk para suami yang telah memuliakan istrinya